“Wah ! Kamu aktivis kiri ?”
by LastBark@ganja.com
WHO WANTS TO BE …
Jenuh, lelah, kecewa, dan nyaris marah, aku datang entah dari mana, dan berjalan sendirian kembali menuju ke arah dari mana aku datang. Sekali lagi, berjalan kaki menikmati caci makiku sendiri pada dunia yang entah kapan bisa berubah menjadi dunia yang aku mau. Lewati sebuah toko elektronik kecil yang biasanya sudah tutup pada jam seperti ini. Seseorang menatap layar tv yang dibiarkan menyala dari luar kaca, rasa penasaranku menghentikan gerak kaki persis di sebelah orang itu. “Bola ?”, tanyaku, sambil berharap semoga ia tidak mencurigaiku sebagai copet. “Bukan, cuma ngeliatin iklan ini...”, katanya tanpa memandang wajahku. Aku ikuti arah matanya, menuju layar tv dalam toko itu. Iklan sebuah kuis di televisi swasta, “Who wants to be a millionare”. Aku benci televisi, benci iklan, benci kuis, benci milyuner, dan yang paling membuatku semakin benci adalah wajah si pemandu acara kuis itu. Tantowi Yahya, kalau tak salah. Cobalah kalian perhatikan wajahnya, semoga kalian juga bisa melihat kebengisan kapitalisme dibalik senyumnya yang arogan.
“Segampang itu ya, jadi jutawan ?”, pertanyaan itu menghentikan langkahku untuk pergi. Aku nyaris lupa kalau orang tadi ternyata masih ada. “Penduduk Indonesia 200 juta, mas. Yang milyuner nggak sampe lima ribu orang...”, jawabku sok implisit. Ia menawarkanku rokok, dan duduk di emper etalase toko itu. Televisi di dalam tak lagi menarik perhatian kami, namun tak ada diantara kami berdua yang mampu mencegah suara merengek lelaki gombal penjual cinta suci yang berbanding terbalik dengan perilakunya di luar video klip dan lirik lagu-lagu mereka. “Aku mencintaimu, lebih dari yang kau tahu...”
Kubakar rokok pemberian orang itu. Lagu dalam televisi belum juga berhenti. Alangkah sulitnya membakar rokok sambil tertawa. Apalagi tertawa meremehkan. Kuletakkan ranselku di tembok dan duduk menyandar di sebelahnya. Dari kiri ke kanan : Orang itu, aku, ranselku, dan flyer sebuah konser (lagi-lagi !) band gombal Indonesia yang vokalisnya selalu menggaruk kepalanya dan tergagap setiap di interview. Pemaksaan sebuah ciri khas untuk menaikkan nilai jual sebuah band selalu terasa murahan untukku. Padahal aku cuma seorang pecundang murni ! Industri musik memang aneh...
“Eh...kalo kamu punya duit satu milyar, mau dipake untuk apa ?”, orang itu selalu saja mengagetkan. Aku yang sekali lagi terlupa kalau aku tak sendirian, sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, jadi aku menjawab seperti biasanya aku menjawab pertanyaan seperti itu,
“saya bagi dua”
“bagi dua gimana ?”
“satu untuk idealisme saya”
“terus, satu lagi ?”
“untuk bertahan hidup, dan untuk nutupin kalo
proyek idealisme saya rugi”
Dia tersenyum, aku baru sadar ternyata dia bukan sekedar orang yang numpang lewat sepertiku. Mungkin dia preman daerah ini, atau karyawan toko lain yang sudah tutup tapi belum mau pulang. Entahlah, belum sempat aku menganalisanya, dia sudah bertanya lagi, “proyek idealisme kamu apa ? Dan proyek bertahan hidup sekaligus sponsor idealisme kamu juga apa ?”. Sial ! Pinter juga nih orang. Aku yang juga ingin terlihat pintar di matanya justru balik bertanya, “Dengan uang satu milyar ?”.
Dia mengangguk. Dua jenak aku terdiam, lalu dengan wajah penuh harap (seakan percaya pada keajaiban) sembari menerawangkan wajah ke langit yang ternyata banyak bintangnya, aku mulai memproyeksikan sebuah bentuk visual dari dalam otakku menjadi kalimat,
“Sebuah toko buku kecil, yang ada lonceng di pintunya, jadi kalo ada yang masuk pasti kedengeran ‘triing’, terus bikin café, yang nyetel musik apa saja dari techno sampe punkrock sampe reggae, yang tiap malem minggu ada band lokal manggung disitu, tiketnya cuma seribu. Dan sebagai proyek sponsornya, saya maunya bikin wartel sama studio band yang disewakan untuk latihan atau rekaman...Oh ya, masih ada satu lagi, entah ini proyek idealisme atau proyek sponsornya, saya juga mau bikin tambal ban yang buka 24 jam...he he he he...”
Aku tak bisa menahan inginku untuk tertawa, mungkin karena aku semakin apatis pada cita-citaku sendiri, jadi aku santai saja menceritakannya pada seseorang yang tidak kukenal. Pada saat aku menulis cerita ini, jujur saja, aku kaget sewaktu menyadari bahwa ternyata aku butuh satu paragraf hanya untuk menceritakan apa cita-citaku.
Setelah tersenyum beberapa saat, orang itu bertanya lagi, “Tapi andaikata semuanya terwujud, itu nggak bakalan sampe satu milyar, sisanya gimana ?”.
“membuat sebuah milisi teroris dan perakitan bom”
“teroris ? buat apaan ?”
[aku tak menjawab]
“Terus, melatih dan mempersenjatai pengamen dan anak jalanan”
“Wah ! Kamu aktivis kiri ?”
“bukan, saya cuma orang yang nggak mungkin punya duit semilyar”
[aku tertawa, dia tidak]
Terdiam. Aku mulai melihat jam, sudah terlalu malam untuk sebuah toko elektronik sekecil ini untuk masih tetap buka. Aku mencium ada yang aneh disini. Aku harus mencari topik obrolan baru atau tarik diri dari tempat ini. Belum sempat kumemilih satu dari dua pilihan diatas, dia sudah bertanya lagi,”kuis yang tadi, yang bisa bikin kita jadi milyuner itu...gimana caranya supaya saya bisa jadi pesertanya ?”. Aku menjawab sebisaku,”biasanya diakhir acara, diberitahukan bagaimana caranya supaya kita bisa menjadi peserta, tapi peminatnya pasti banyak,dan saringannya ketat, kemungkinan untuk lolos dan muncul di TV kecil banget”.
“nggak ada yang bisa disogok ?”
“nggak tau...ini bukan ngurus surat tilang”
[aku tertawa, dia tidak]
Terdiam lagi. Dia mulai mendesah, tampaknya ada sesuatu yang memutuskan asanya. Sudah nyaris jam 23.00, dan toko ini masih buka. Orang yang disebelahku hanya mendesah, menghela nafas, dan menghisap rokoknya sedemikian kerasnya hingga suara tembakau yang terbakar hampir menyaingi suara penyiar berita di TV yang membaca berita dengan bahasa Indonesia namun menggunakan aksen se-Amerika mungkin. Aku lupa nama orangnya, tapi sejak SMA aku sudah benci aksennya itu. CNN minded, low life !
“Ini kok belum tutup ya ?”, tanyaku sambil menoleh kebelakang. “Belum, saya masih mau menikmati hari terakhir saya”. Seakan membiarkan otakku bekerja, dia beranjak dari duduknya, berbalik dan mematikan TV di dalam dengan remote yang ternyata dari tadi dia pegang. “Mas pegawai disini ?”, tanyaku. “Bukan, saya yang punya ini tempat”, jawabnya datar.
“Hari terakhir itu, maksudnya ?”
“toko ini sudah saya jual”
“sama isinya ?”
“iya”
“kenapa dijual ?”
Lalu butuh sekitar 15 menit untuk membuatku mengerti bagaimana awalnya sebuah Multi Level Marketing membuat depositonya membengkak dan menjadi gendut penuh uang, kemudian bagaimana juga MLM itu mengambilnya kembali dengan alasan “semakin besar investasi anda, semakin besar keuntungan anda !”, lalu lari menghilang beserta seluruh uang orang itu. Padahal dia tidak hanya menghabiskan seluruh tabungannya, dia juga telah berani menghutang pada orang lain untuk investasi itu. Tentu saja aku tak perlu menjelaskan apa hubungan antara hutangnya dan dijualnya toko itu.
Kulihat dia kehabisan rokok, kutawarkan rokokku, lalu aku masuk ke dalam toko itu. Dia tetap diluar, memberikan remote TV padaku, dan mulai menarik turun rolling doornya. Closing time. Kunyalakan kembali TV, mencari MTV. Koil dengan klipnya yang terlalu hambar bila dibandingkan dengan lagunya, berteriak :
Surga di hati
Kubawa mati
TV kumatikan lagi. kuletakkan remotenya di atas etalase kaca berisi beragam earphone, walkman, kaset dan CD kosong, dan entah apalagi. Kuhampiri dia, kusalami dan kutepuk pundaknya. Dia juga melakukan hal yang sama (I looove this kind of conversation). Selangkah lagi sebelum kakiku keluar, ia bertanya,“menurut kamu, orang Cina yang jadi tukang tambal ban itu aneh atau lucu ?”. Sebuah jawaban pasti keluar dari mulutku,“Saya belum pernah jadi tukang tambal ban, dan saya nggak pernah melihat Orang Cina yang lebih lucu selain di film komedi mandarin...aneh itu cuma sekedar harga yang harus dibayar kok”. Tanpa menunggu reaksinya, aku melangkah keluar, dan nyaris saja ditabrak oleh seorang tukang becak yang berlari liar kegirangan karena setelah entah berapa lama, nomer kupon putihnya akhirnya tembus !
Sambil berjalan tertunduk aku berpikir untuk menambah lagi satu cita-citaku, tapi kalau aku tak sempat untuk merealisasikannya, semoga kalian bisa...Siapapun dari kalian, bila sempat bertemu Tantowi Yahya, tolong robek bibirnya untukku…
by LastBark@ganja.com
WHO WANTS TO BE …
Jenuh, lelah, kecewa, dan nyaris marah, aku datang entah dari mana, dan berjalan sendirian kembali menuju ke arah dari mana aku datang. Sekali lagi, berjalan kaki menikmati caci makiku sendiri pada dunia yang entah kapan bisa berubah menjadi dunia yang aku mau. Lewati sebuah toko elektronik kecil yang biasanya sudah tutup pada jam seperti ini. Seseorang menatap layar tv yang dibiarkan menyala dari luar kaca, rasa penasaranku menghentikan gerak kaki persis di sebelah orang itu. “Bola ?”, tanyaku, sambil berharap semoga ia tidak mencurigaiku sebagai copet. “Bukan, cuma ngeliatin iklan ini...”, katanya tanpa memandang wajahku. Aku ikuti arah matanya, menuju layar tv dalam toko itu. Iklan sebuah kuis di televisi swasta, “Who wants to be a millionare”. Aku benci televisi, benci iklan, benci kuis, benci milyuner, dan yang paling membuatku semakin benci adalah wajah si pemandu acara kuis itu. Tantowi Yahya, kalau tak salah. Cobalah kalian perhatikan wajahnya, semoga kalian juga bisa melihat kebengisan kapitalisme dibalik senyumnya yang arogan.
“Segampang itu ya, jadi jutawan ?”, pertanyaan itu menghentikan langkahku untuk pergi. Aku nyaris lupa kalau orang tadi ternyata masih ada. “Penduduk Indonesia 200 juta, mas. Yang milyuner nggak sampe lima ribu orang...”, jawabku sok implisit. Ia menawarkanku rokok, dan duduk di emper etalase toko itu. Televisi di dalam tak lagi menarik perhatian kami, namun tak ada diantara kami berdua yang mampu mencegah suara merengek lelaki gombal penjual cinta suci yang berbanding terbalik dengan perilakunya di luar video klip dan lirik lagu-lagu mereka. “Aku mencintaimu, lebih dari yang kau tahu...”
Kubakar rokok pemberian orang itu. Lagu dalam televisi belum juga berhenti. Alangkah sulitnya membakar rokok sambil tertawa. Apalagi tertawa meremehkan. Kuletakkan ranselku di tembok dan duduk menyandar di sebelahnya. Dari kiri ke kanan : Orang itu, aku, ranselku, dan flyer sebuah konser (lagi-lagi !) band gombal Indonesia yang vokalisnya selalu menggaruk kepalanya dan tergagap setiap di interview. Pemaksaan sebuah ciri khas untuk menaikkan nilai jual sebuah band selalu terasa murahan untukku. Padahal aku cuma seorang pecundang murni ! Industri musik memang aneh...
“Eh...kalo kamu punya duit satu milyar, mau dipake untuk apa ?”, orang itu selalu saja mengagetkan. Aku yang sekali lagi terlupa kalau aku tak sendirian, sudah terbiasa dengan pertanyaan seperti itu, jadi aku menjawab seperti biasanya aku menjawab pertanyaan seperti itu,
“saya bagi dua”
“bagi dua gimana ?”
“satu untuk idealisme saya”
“terus, satu lagi ?”
“untuk bertahan hidup, dan untuk nutupin kalo
proyek idealisme saya rugi”
Dia tersenyum, aku baru sadar ternyata dia bukan sekedar orang yang numpang lewat sepertiku. Mungkin dia preman daerah ini, atau karyawan toko lain yang sudah tutup tapi belum mau pulang. Entahlah, belum sempat aku menganalisanya, dia sudah bertanya lagi, “proyek idealisme kamu apa ? Dan proyek bertahan hidup sekaligus sponsor idealisme kamu juga apa ?”. Sial ! Pinter juga nih orang. Aku yang juga ingin terlihat pintar di matanya justru balik bertanya, “Dengan uang satu milyar ?”.
Dia mengangguk. Dua jenak aku terdiam, lalu dengan wajah penuh harap (seakan percaya pada keajaiban) sembari menerawangkan wajah ke langit yang ternyata banyak bintangnya, aku mulai memproyeksikan sebuah bentuk visual dari dalam otakku menjadi kalimat,
“Sebuah toko buku kecil, yang ada lonceng di pintunya, jadi kalo ada yang masuk pasti kedengeran ‘triing’, terus bikin café, yang nyetel musik apa saja dari techno sampe punkrock sampe reggae, yang tiap malem minggu ada band lokal manggung disitu, tiketnya cuma seribu. Dan sebagai proyek sponsornya, saya maunya bikin wartel sama studio band yang disewakan untuk latihan atau rekaman...Oh ya, masih ada satu lagi, entah ini proyek idealisme atau proyek sponsornya, saya juga mau bikin tambal ban yang buka 24 jam...he he he he...”
Aku tak bisa menahan inginku untuk tertawa, mungkin karena aku semakin apatis pada cita-citaku sendiri, jadi aku santai saja menceritakannya pada seseorang yang tidak kukenal. Pada saat aku menulis cerita ini, jujur saja, aku kaget sewaktu menyadari bahwa ternyata aku butuh satu paragraf hanya untuk menceritakan apa cita-citaku.
Setelah tersenyum beberapa saat, orang itu bertanya lagi, “Tapi andaikata semuanya terwujud, itu nggak bakalan sampe satu milyar, sisanya gimana ?”.
“membuat sebuah milisi teroris dan perakitan bom”
“teroris ? buat apaan ?”
[aku tak menjawab]
“Terus, melatih dan mempersenjatai pengamen dan anak jalanan”
“Wah ! Kamu aktivis kiri ?”
“bukan, saya cuma orang yang nggak mungkin punya duit semilyar”
[aku tertawa, dia tidak]
Terdiam. Aku mulai melihat jam, sudah terlalu malam untuk sebuah toko elektronik sekecil ini untuk masih tetap buka. Aku mencium ada yang aneh disini. Aku harus mencari topik obrolan baru atau tarik diri dari tempat ini. Belum sempat kumemilih satu dari dua pilihan diatas, dia sudah bertanya lagi,”kuis yang tadi, yang bisa bikin kita jadi milyuner itu...gimana caranya supaya saya bisa jadi pesertanya ?”. Aku menjawab sebisaku,”biasanya diakhir acara, diberitahukan bagaimana caranya supaya kita bisa menjadi peserta, tapi peminatnya pasti banyak,dan saringannya ketat, kemungkinan untuk lolos dan muncul di TV kecil banget”.
“nggak ada yang bisa disogok ?”
“nggak tau...ini bukan ngurus surat tilang”
[aku tertawa, dia tidak]
Terdiam lagi. Dia mulai mendesah, tampaknya ada sesuatu yang memutuskan asanya. Sudah nyaris jam 23.00, dan toko ini masih buka. Orang yang disebelahku hanya mendesah, menghela nafas, dan menghisap rokoknya sedemikian kerasnya hingga suara tembakau yang terbakar hampir menyaingi suara penyiar berita di TV yang membaca berita dengan bahasa Indonesia namun menggunakan aksen se-Amerika mungkin. Aku lupa nama orangnya, tapi sejak SMA aku sudah benci aksennya itu. CNN minded, low life !
“Ini kok belum tutup ya ?”, tanyaku sambil menoleh kebelakang. “Belum, saya masih mau menikmati hari terakhir saya”. Seakan membiarkan otakku bekerja, dia beranjak dari duduknya, berbalik dan mematikan TV di dalam dengan remote yang ternyata dari tadi dia pegang. “Mas pegawai disini ?”, tanyaku. “Bukan, saya yang punya ini tempat”, jawabnya datar.
“Hari terakhir itu, maksudnya ?”
“toko ini sudah saya jual”
“sama isinya ?”
“iya”
“kenapa dijual ?”
Lalu butuh sekitar 15 menit untuk membuatku mengerti bagaimana awalnya sebuah Multi Level Marketing membuat depositonya membengkak dan menjadi gendut penuh uang, kemudian bagaimana juga MLM itu mengambilnya kembali dengan alasan “semakin besar investasi anda, semakin besar keuntungan anda !”, lalu lari menghilang beserta seluruh uang orang itu. Padahal dia tidak hanya menghabiskan seluruh tabungannya, dia juga telah berani menghutang pada orang lain untuk investasi itu. Tentu saja aku tak perlu menjelaskan apa hubungan antara hutangnya dan dijualnya toko itu.
Kulihat dia kehabisan rokok, kutawarkan rokokku, lalu aku masuk ke dalam toko itu. Dia tetap diluar, memberikan remote TV padaku, dan mulai menarik turun rolling doornya. Closing time. Kunyalakan kembali TV, mencari MTV. Koil dengan klipnya yang terlalu hambar bila dibandingkan dengan lagunya, berteriak :
Surga di hati
Kubawa mati
TV kumatikan lagi. kuletakkan remotenya di atas etalase kaca berisi beragam earphone, walkman, kaset dan CD kosong, dan entah apalagi. Kuhampiri dia, kusalami dan kutepuk pundaknya. Dia juga melakukan hal yang sama (I looove this kind of conversation). Selangkah lagi sebelum kakiku keluar, ia bertanya,“menurut kamu, orang Cina yang jadi tukang tambal ban itu aneh atau lucu ?”. Sebuah jawaban pasti keluar dari mulutku,“Saya belum pernah jadi tukang tambal ban, dan saya nggak pernah melihat Orang Cina yang lebih lucu selain di film komedi mandarin...aneh itu cuma sekedar harga yang harus dibayar kok”. Tanpa menunggu reaksinya, aku melangkah keluar, dan nyaris saja ditabrak oleh seorang tukang becak yang berlari liar kegirangan karena setelah entah berapa lama, nomer kupon putihnya akhirnya tembus !
Sambil berjalan tertunduk aku berpikir untuk menambah lagi satu cita-citaku, tapi kalau aku tak sempat untuk merealisasikannya, semoga kalian bisa...Siapapun dari kalian, bila sempat bertemu Tantowi Yahya, tolong robek bibirnya untukku…